Dalam bidang perpajakan, status keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perhitungan dan pemotongan pajak. Sistem perpajakan umumnya mengakui bahwa keluarga merupakan satu kesatuan ekonomi dan hal ini tercermin dalam cara penghitungan pendapatan keluarga secara kolektif. Mengetahui jenis status kewajiban perpajakan merupakan hal penting bagi wajib pajak karena status tersebut dapat memengaruhi besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal ini juga dipicu dengan Status perpajakan WPOP yang dapat mengalami perubahan yang tergantung pada kondisi, seperti menikah, bercerai, pelaku usaha, dan lain-lain.
Kolom status kewajiban perpajakan suami-istri pertama kali diterbitkan dalam format SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) berdasarkan Lampiran I PER-19/PJ/2014. Selanjutnya, pada Lampiran II PER-19/PJ/2014 dijabarkan arti dari keempat status perpajakan tersebut. Berikut penjelasan dari keempat status perpajakan :
Status perpajakan ini diperuntukkan bagi suami-istri yang menghendaki untuk menggabungkan kewajiban perpajakan, sehingga penghasilan dari seluruh anggota keluarga akan digabungkan menjadi satu kesatuan.
Dalam status perpajakan tersebut, Istri melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan melalui NPWP suami atau kepala keluarga. Hal ini mendasari bahwa penghasilan yang diterima istri atau kerugian yang diperoleh istri merupakan penghasilan atau kerugian suaminya. Terkecuali penghasilan tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja yang dipotong PPh pasal 21 atau pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Apabila istri memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja, PPh 21 yang telah dipotong tersebut akan bersifat final.Perhitungan PPh ini dilandasi oleh Pasal 8 ayat 2 UU PPh
Dalam konteks pelaporan harta kewajiban, Keluarga yang memiliki status perpajakan Kepala Keluarga hanya perlu melaporkan satu SPT tahunan yang telah digabung secara kolektif. Ketentuan Ini juga meliputi istri WPOP yang bekerja. Istri akan dianggap sebagai tanggungan yang akan menjadi penambah PTKP berdasarkan status bekerja istri.
Suami-istri secara hukum ingin melakukan pemisahan harta dan penghasilan sesuai perjanjian yang telah disepakati. Pada kondisi ini, tiap individu tetap memiliki NPWP agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara terpisah. Perhitungan PPh dengan status pajak ini berdasarkan pada Pasal 8 ayat 3 UU PPh.
Dalam status keputusan pisah harta, terdapat dua opsi kondisi yang dapat dipilih, yaitu saat istri tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memiliki penghasilan diatas PTKP atau istri yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
Dalam status perpajakan tersebut, PPh terutang dihitung berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan istri yang kemudian dihitung secara proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka. Dengan status perpajakan pisah harta, PPh 21 yang dipotong oleh pemberi kerja istri akan diklasifikasikan sebagai kredit pajak.
Dalam konteks pelaporan harta kewajiban, Keluarga yang memiliki status perpajakan Pisah Harta perlu melaporkan SPT tahunan WPOP masing-masing. Namun, status pisah harta ini wajib memenuhi syarat yaitu perjanjian resmi kondisi pisah harta yang dilakukan oleh suami dan istri.
Dalam status ini, Suami-istri tidak bercerai namun bersepakat melaksanakan kewajiban perpajakannya secara terpisah, sehingga kedua belah pihak wajib mempunyai kepemilikan NPWP yang juga terpisah.
Status ini didapatkan apabila terdapat penyampaian surat pernyataan ke kantor pajak oleh istri yang menghendaki menjalankan kewajiban perpajakan secara terpisah, sehingga istri memiliki NPWP sendiri yang berbeda dengan suami tanpa membuat perjanjian pisah harta.
Perhitungan penghasilan pajak MT memiliki kesamaan dengan status pajak PH, yaitu penggabungan penghasilan neto suami dan istri yang kemudian dihitung secara proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto. Selain itu, suami-istri perlu untuk melaporkan SPT tahunan WPOP masing-masing.
Perbedaan status pajak MT dengan PH terletak pada perjanjian resmi. Status pajak MT tidak menggunakan surat pernyataan resmi karena status pajak MT merupakan kehendak istri untuk menjalankan kewajiban perpajakan yang terpisah dari suami.
Status Hidup Berpisah digunakan oleh suami-istri yang telah dinyatakan hidup terpisah atau bercerai secara hukum yang didasari keputusan dari pengadilan. Dalam hal ini, suami-istri dianggap sebagai PTKP golongan Tidak Kawin (TK), sehingga suami-istri memiliki NPWP masing - masing.
Perhitungan pasal penghasilan pajak HB mengikuti perhitungan Pajak WPOP dengan golongan TK, sehingga masing-masing suami dan istri memiliki PTKP sebesar 54 juta. Maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri yang dinyatakan bercerai secara hukum dan berstatus Hidup berpisah wajib untuk melaporkan SPT Tahunan WPOP secara terpisah.
Pemahaman akan status perpajakan ini penting bagi suami-istri dalam merencanakan pilihan status pajak yang ingin dikehendaki oleh keluarga. Status Kepala Keluarga, Pisah Harta, Memilih Terpisah, dan Hidup Berpisah memiliki opsi yang berbeda demi mencakup kehendak dan kondisi suami-istri. Pemilihan status perpajakan perlu dipahami lebih lanjut karena status tersebut tidak hanya mempengaruhi perhitungan pajak, tetapi status pajak suami-istri, serta berdampak pada hak dan kewajiban setiap wajib pajak. Oleh karena itu, kesadaran akan pemilihan masing-masing status perpajakan sangat penting bagi wajib pajak untuk memastikan kepatuhan perpajakan dan pengelolaan keuangan yang optimal.
Written by: Nikita Rosalind - Agent of Artax
Artikel ini merupakan pandangan pribadi tim penulis dan tidak mencerminkan pendapat resmi perusahaan kami.
At Artax, we're dedicated to providing unparalleled tax consultation services. Let us help you smoothen the complex Indonesian tax system with expertise and precision.